Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Hai Bung dan Nona sekalian, pada artikel kali ini saya ingin berbagi tentang perjalanan saya selama masa pandemi COVID19 ini, artikel ini saya tulis sesuai dengan apa yang saya alami dan rasakan. Cerita saya mulai ketika pada pertengahan bulan Februari harus berangkat ke Jakarta karena ada kontrak kerja, saya berangkat dari Malang menggunakan motor (pemotor tetaplah pemotor hehe) dan tiba di Jakarta pagi hari sebelum langsung berangkat ngantor di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Pada bulan Februari masih belum ada warning apapun terkait COVID19 hanya ada pemberitaan mengenai ditemukannya virus baru dan menjangkit secara masiv dikawasan China, dan secara umum masih beranggapan ini sekedar tajuk berita internasional seperti halnya wabah Ebola, SARS, Flu Babi, Flu Burung.
Lengang jalanan di Kemang
Selama di Jakarta
Minggu pertama saya jalani seperti biasa begitupun lingkungan gedung masih banyak ekspatriat saya jumpai, diluar lingkungan gedung juga normal. Di akhir minggu saya terkadang silaturahmi ke rumah teman atau saudara layaknya kondisi normal. Cuman memang sudah mulai diberitakan dan banyak obrolan-obrolan bahwa penularan Covid19 ini cukup cepat dan meluas termasuk indikasi adanya gejala-gejala yang mirip Covid19 terdeteksi ada di Indonesia. Hingga pada akhirnya di hari Senin tanggal 2 Maret 2020 ada pengumuman resmi dari pemerintah terkait adanya pasien positif Covid19, dan lokasi awal penularan pasien 01 berada di sebuah kafe kawasan Kemang, yaaaa gak jauh-jauh banget-lah dari gedung kantor hehe.
Lanjut, sayapun masih beraktivitas seperti biasa hingga akhirnya 1 pekan setelah pengumuman pemerintah tersebut saya mengalami demam tinggi, badan terasa sakit, batuk, pilek dan pusing, yang membuat saya tidak bisa ngantor. Akhirnya ya sudah saya berdiam diri di tempat kos yang difasilitasi perusahaan selama 1 pekan, yang saya fikirkan saat itu adalah tanggungan pekerjaan karena memang sedang padet-padetnya dan tentunya sakit yang dirasa karena waktu itu memang bener-bener sendirian. Pada minggu berikutnya kondisi badan sudah berangsur normal tapi kondisi di luar sudah berubah karena awareness terhadap wabah ini semakin terlihat, mulai dari susahnya cari masker, hand sanitizer, mindset orang-orang sudah peduli akan social distancing, dan kendaraan juga mulai berkurang, hal ini terlihat di jalanan depan gedung yang biasanya macet dan waktu itu tidak. Informasi tambahan, setelah sepekan mengurung diri di kost-an saya ke dokter dan cek darah di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan difasilitasi mobil kantor, dan pada kesempatan ini saya haturkan terima kasih atas perhatian kantor selama saya sakit sampai sembuh.
Selang 1 minggu semenjak saya aktif lagi, pada tanggal 23 Maret 2020-4 April pemerintah DKI Jakarta memulai himbauan agar kantor-kantor menutup kegiatannya dan sudah pada tahap phisical distancing. Alhasil kegiatan ngantor di Gedung beralih jadi ngantor dari rumah alias work from home (WFH) begitupun kantor tempat saya kerja. Situasi secara umum di Jakarta waktu itu sudah semakin sepi bahkan warung-warung makan di tempat kuliner Kemang yang biasanya rame dan jadi tongkrongan wajib daerah selatan disuruh tutup oleh pihak berwajib, asli waktu itu gak seperti Kemang yang selama ini saya tahu. Dengan pertimbangan kondisi dan kemungkinan diberlakukannya lock down untuk DKI Jakarta perusahaan memberikan opsi mau diselesaikan sampai batas kontrak kerja atau diakhiri sebelum waktunya, dan saya memutuskan melanjutkan sampai selesai. Pertimbangannya karena setelah saya kontak beberapa teman di jalur utama Pantura, kondisi jalanan normal tidak ada penutupan.
Sekitar kurang seminggu dari kepulangan saya, kondisi Jakarta sudah sepi sekali, yang diperbolehkan buka secara umum hanya toko kebutuhan pokok, fasilitas kesehatan dan apotek, ya meskipun ada juga sektor lain yang tidak mengikuti himbauan dan tetap buka. Untuk membeli makanan pembeli harus take away, dan saya seringnya membeli langsung banyak untuk stok konsumsi beberapa hari. Patroli gabungan (Pol PP, Polisi dan TNI) hilir mudik dijalanan guna melakukan himbauan, meminta untuk tidak berkerumun, berboncengan, menyuruh pulang atau diminta memakai bagi yang keluar rumah tanpa mengenakan masker serta membuka penutup/spanduk warung-warung makan pinggir jalan agar terlihat ada yang makan ditempat atau tidak. Bahkan melakukan penutupan toko-toko, warung atau bengkel dikawasan zona merah (ini dialami bengkel temen salah satunya, sabar ya bung). Pada tanggal 10 April 2020 pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dimulai di Jakarta dan ini semakin membuat Jakarta layaknya kota besar dengan segala fasilitasnya tapi tanpa pengguna :(.
Kawasan Monas
Perjalanan Pulang ke Jawa Timur
Bersiap pulang ke Jawa Timur
Dan akhirnya tepat 2 bulan saya selesai pekerjaan di Jakarta pada tanggal 16 April 2020 saya bersiap cabut dari Jakarta. Untuk perlengkapan yang saya pakai selama perjalanan pulang ke Jatim ini antara lain, pakaian atas 4 lapis dan bawah 3 lapis, sarung tangan, sepatu boot, masker tertutup balaclava dan diakhiri helm fullface juga tidak lupa sedia hand sanitizer dan obat-obatan/multivitamin di saku rompi agar mudah mengambilnya. Saya berangkat bermotor dari Jakarta pada tanggal 17 April 2020 dini hari sekitar jam 1 dengan maksud sampai di Cirebon pagi hari. Selama perjalanan dari Jakarta menuju Cirebon tidak ada satupun pemeriksaan, ataupun pengalihan jalur. Memasuki jawa tengah juga demikian, sampai diwilayah Batang setelah Pekalongan juga tidak ada meski jalanan cenderung lebih sepi dari biasaya tetapi apabila dibandingkan dengan jalanan di Jakarta tentu lebih ramai. Di Cirebon contohnya, saya sempat istirahat dan ngobrol dengan penduduk setempat. Seperti yang saya lihat memang kondisi di Cirebon masih ramai, warung-warung makan masih banyak yang buka, penarik becak juga masih dijumpai walaupun menurut keterangan lebih sepi dari keadaan normal sebelum pandemi Covid19. Masuk Semarang pun demikian, kondisi juga masih ramai meski kesadaran memakai masker sudah terlihat dan lagi-lagi tidak ada pemeriksaan dijalanan. Untuk jalur yang saya lewati selepas Semarang adalah Bawen, Salatiga, Tingkir, Gemolong, Sragen, Mantingan, Ngawi, Caruban, Nganjuk, Kertosono, Pare, Batu, Malang.
Dari semua daerah yang saya lewati tadi yang saya temui pengalihan jalur ada di kota Sragen dan pengecekan di Batu, diluar itu tidak ada sama sekali hanya terlihat penutupan akses di perkampungan yang diinisiasi oleh warga sendiri. Untuk kondisi dan aktivitas warga juga terlihat biasa saja terutama pada siang hari, tapi begitu menginjak malam sekitar jam 7 keatas sudah mulai terasa sepi dan berbeda dari suasana normal sebelumnya. Untuk tambahan informasi, sebelum saya pulang dari Jakarta saya sudah kontak keluarga dan dinas kesehatan di Probolinggo dan Lumajang mengenai penanganan pemudik/pulang kampunger di tempat tujuan dan saya putuskan untuk melakukan pengecekan dan karantina di Probolinggo, karena lokasi karantina lebih dekat dari rumah keluarga. Oke balik ke perjalanan saya tadi, sesampainya di Malang sekitar pukul 9 pagi tanggal 18 April 2020 (perjalanan +/-32 jam) dan saya langsung membeli bekal sehari semalam agar saya tidak perlu keluar sesampainya di rumah. Saya tidak melakukan karantina di Malang karena seluruh keluarga sudah pulang kampung sejak Maret dan tentunya kondisi rumah kosong. Di Malang menginap sehari dan ambil beberapa keperluan karena masa karantina dimulai di hari Senin 20 April dan saya sebisa mungkin menghindari kontak dengan keluarga di Rumah.
Sabtu Pagi didaerah Caruban, para petani mulai menanam padi
Masa Karantina
Pada minggu sore saya sampai di Probolinggo dan langsung berdiam di kamar khusus yang sebelumnya sudah disiapkan keluarga, karena saya paham dan sadar kondisi saya dari daerah zona merah. Dan saya pribadi menyadari bahwa saya ini sebagai obyek “berbahaya” sebelum masa karantina usai selama 14 hari sesuai anjuran pemerintah. Namun kesadaran ini tidak serta merta disambut baik oleh masyarakat, hal ini saya alami ketika saya di Malang, tanpa diketahui kedatangan saya-pun phobia sudah ada di masyarakat terbukti keesokan harinya di minggu pagi ada selebaran tentang Covid19 dari pihak kelurahan tergeletak depannpintu, entah dari siapa info kedatangan saya bisa sampai pihak kelurahan. Akhirnya saya kontak nomor yang tertera di selebaran untuk menjelaskan tujuan dan bahwa saya tidak menetap di Malang karena akan melakukan karantina di Probolinggo. Begitupun ketika sampai di Probolinggo seruan kata “Lockdown…” langsung terucap meski dengan nada candaan dari tetangga sekitar rumah keluarga hehe. Disisi lain sebenarnya celah untuk tidak melakukan karantina dari dinas kesehatan dan pihak terkait sangat mudah untuk dilakukan, hal ini saya ketahui dari banyaknya pendatang yang tidak melakukan karantina, tidak lapor ke dinas terkait, bahkan mengacuhkan himbauan aparat apabila diketahui.
Pendataan masuk karantina
Kembali ke karantina saya, saat saya merilis artikel ini masa karantina saya kurang 1 hari setelah itu bisa pulang (yay….). Untuk tempat karantina ini disiapkan oleh pemerintah Probolinggo didaerah Leces dan ternyata kebijakan tempat karantina ini dilakukan per desa dengan anggaran yang saya dapat info di kisaran ratusan juta perdesa, entah apa ini kebijakan per kabupaten/kotamadya, provinsi atau lingkup nasional. Untuk tempat karantina yang saya huni ini merupakan bangunan sekolah yang dirubah ruangan kelasnya, fasilitas MCK baik, pelayanan kesehatan untuk pengecekan tekanan darah, detak jantung, suhu dilakukan tiap hari dari dinas kesehatan, fasilitas makan minum juga disediakan dengan baik dan terjamin, pun demikian akses internet juga disediakan, penjagaan 24 jam disiagakan apabila diperlukan. Untuk penghuni ditiap ruangan ada 3 orang dengan total terakhir saya di tempat karantina sekitar 20 orang. Adapun pendatang berasal dari berbagai kota, ada yang dari Jakarta, Bandung, Bali, Lombok, bahkan dari Surabaya yang masih 1 provinsi. Jujur saya bilang penanganan pendatang untuk karantina di Probolinggo bagus, kalaupun ada kekurangan saya rasa hal-hal yang minor dan tidak masalah karena ini merupakan fasilitas yang dadakan dalam persiapannya.
Pengecekan darah sebelum pemulangan
Kesimpulan
- Untuk pencegahan tersebarnya Covid19 menurut apa yang saya alami dan rasakan sangat longgar dan banyak celah, hal itu terlihat dari kurangnya pemeriksaan dijalanan ataupun penyediaan tanggap darurat di lokasi tujuan pendatang.
- Kesadaran masyarakat dan perorangan bisa dibilang rendah akan penyebaran dan antisipasi pandemi ini. Hal ini dilihat masih banyaknya aktifitas diluar rumah dan kesadaran diri untuk karantina apabila dari luar kota.
- Pola pikir masyarakat terdoktrin dari media dan informasi yang memberikan kesan menakutkan hingga timbul phobia. Hal ini saya lihat dari reaksi orang terdekat dan keluarga saya sendiri, jangankan orang tua saya yang sepuh bahkan teman saya dengan akses informasi baik dan lebih berpendidikanpun ada kesan ketakutan. Kenapa saya menyoroti masalah ini, karena ketika orang sudah merasa ketakutan/phobia yang ada hanya kekhawatiran tanpa bisa bersikap tenang dan solutif. Seharusnya ada satu portal informasi valid yang dijadikan rujukan dan mudah terakses bagi seluruh masyarakat dan jangan sampai informasi tumpang tindih. Kemudian berikan informasi-informasi positif setiap hari melalui media-media mainstream agar tumbuh rasa optimisme. Kalau perlu bungkam saja media-media yang hanya cari sensasi dan cuman lempar berita tanpa filter yang baik ke masyarakat.
- Fasilitas karantina sangat diperlukan dan idealnya memang per-desa agar lebih mudah melakukan pemantauan. Masih banyak desa dan wilayah yang tidak menetapkan sistem karantina ini, dan tentunya bisa menjadi celah tersebarnya wabah ini.
Semoga artikel ini berguna, salam.